Agaknya hampir setiap bocah lelaki pernah memiliki mimpi ingin menjadi seorang pemain sepakbola. Dan saya adalah salah satu di antaranya.
Masa-masa ketika duduk di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama adalah masa-masa dalam hidup saya yang begitu gandrung dengan sepakbola. Hampir setiap hari adalah waktu bermain bola. Everyday is match day! Kalo kata situs Panditfootball. Mulai dari setiap minggu berlatih di Sekolah Sepakbola, hingga setiap pagi bermain bersama kawan-kawan di sekolah, lalu sore harinya bermain bersama kawan-kawan di sekitar rumah.
Ada satu mitos dalam bermain sepakbola, yang pada saat itu begitu dipercayai oleh saya dan kawan-kawan . Yaitu: jika ingin hebat dalam mengolah si kulit bundar, janganlah sering-sering coli! Alasannya adalah, karena coli niscaya dapat menyebabkan persendian di sekitar betis dan lutut menjadi melemah. Sehingga kaki kita lama-kelamaan akan terdegradasi dengan menjadi semakin loyo dalam mengolah bola. Mitos itu pun pada saat itu, kerap dijadikan ledekan untuk untuk menyebut mereka yang tidak piawai bermain bola. Ledekan-ledekan semacam, “Loba teuing coli!”, “Loba teuing ngocok!”, kerap disematkan.
Onani, coli, masturbasi, merancap, cokbun, cokul, atau apapun sebutannya, memang sarat dengan aneka mitos dan interpretasi. Dari berbagai generasi dan kalangan mempunyai versinya masing-masing. Bahkan sudah ada dan berlaku sejak dahulu.
Rezim Victoria di Eropa sana, pada abad 19 dulu, pernah menganggap coli sebagai biang kerok penyebab gagalnya pemerintahan mereka. Argumen-argumen yang berangkat dari agama hingga “sains” pada saat itu dipaparkan untuk memperkuat anggapan mereka dan, mengajak rakyat agar tak lagi doyan coli.
Mulai dari menjelaskan kisah di Kitab Kejadian tentang seorang lelaki bernama Onan yang dikutuk Tuhan karena mengeluarkan pejuh di luar rahim istrinya. Tuhan lantas dikisahkan memberi hukuman dengan cara membunuh Onan.
Dari argumen “saintifik”, pada masa itu menguar perbincangan ihwal pamflet yang dituliskan rohaniawan bernama Dr. Balthazar Bekker. Dalam pamfletnya, ia menjelaskan bahwa coli adalah sebab dari segala penyakit yang populer di masyarakat pada saat itu. Seperti muntah-muntah, gangguan pernapasan, impotensi, encok, hingga penuruan ingatan, dan kegilaan. Jelas, di tengah zaman yang belum mengenal pembuktian ilmiah yang lebih bisa dipertanggung jawabkan, isi pamflet itu cukup ampuh memberi ketakutan di tengah masyarakat.
Bahkan, dalam buku Inverting the Pyramid, Jonathan Wilson menuturkan, bahwa sepakbola sendiri sempat dijadikan pengalih perhatian pada masa itu agar masyarakat tak kegandurngan cokul. Anggapannya, dengan permainan seru yang ada di sepakbola, masyarakat akan teralih perhaatiannya dari kebiasaan terlaknat itu.
Mundur ke belakang, pada sekitar abad ke-16, seorang alkemis Swiss bernama Paracelsus pernah berujar bahwa pejuh yang dicampur boker kuda, lalu didiamkan selama beberapa bulan, akan menciptakan seorang manusia. Hanya saja manusia yang lahir dari “rahim” tokai kuda itu akan memiliki kepribadian buruk. Yang tidak baik bagi peradaban umat manusia.
Itulah beberapa interpretasi mengenai coli. Namun, dibalik beragam interpretasi yang dominan buruk tersebut, beberapa orang juga memiliki hutang budi kepadanya. Berkat coli, mereka kerap berhasil melahirkan karya-karya yang monumental.
Artonin Artaud, penulis-penyair-dramawan besar asal Prancis, pernah memiliki pengalaman hebat yang berkaitan dengan rancap-merancap ini. Suatu waktu ia pernah berteriak-teriak dengan histeris karena membayangkan seluruh orang dari London hingga Syria melakukan coli massal dan menyemprotkan pejuh hasil coli mereka kepada dirinya. Di waktu yang lain ia juga histeris lagi, karena merasa pernah melihat para Rabi dari Yerusalem dan para Lama di Tibet melakukan coli selama satu minggu non-stop.
Artaud memang dikenal mengidap penyakit skizofrenia yang membawanya harus dilarikan ke rumah sakit jiwa. Namun di balik semua itu, ia memang masyhur sebagai seniman yang berani mendobrak kekangan nilai-nilai moralitas yang penuh sopan-santun khas kaum borjuis Eropa di masa itu, pada masanya. Melalui bukunya, The Teather and It’s Double, ia menunjukkan perayaan-perayaan banalitas atas tubuh yang mendobrak nilai-nilai moralitas itu.
Maju beberapa tahun ke depan, pengkaji filsafat, dan satra, Allain de Botton pernah omong-omong soal persamaan seniman dan tukang coli. Dalam “On Art and Masturbation”, ia menjabarkan dengan serius beberapa persamaan antara seniman dan coliman. Semisal mereka sama-sama membutuhkan “bahan dasar” atau yang biasa disebut awam sebagai inspirasi untuk memulai kerja mereka.
Seniman–dalam pandangan awam kebanyakan, dikonotasikan biasa mendulang inspirasi jika mereka pergi menyediri ke gunung-gunung, hutan, atau pantai. Padahal, sebut De Botton, inspirasi mereka bisa datang dari mana saja. Bisa timbul dari apa saja yang mereka temui di sekitaran, sehari-hari. Sebagaimana tukang cokul pun kerap mendapatkan inspirasi untuk onani mereka dari mana saja yang mereka lihat.
Lebih lanjut, tuturnya, yang sama-sama dibutuhkan seniman dan tukang coli adalah mereka sangat memberi perhatian pada detail. Seorang pelukis yang hebat misalnya, akan memerhatikan betul detail pada guratan-guratan bagian mata objek yang dilukis. Dengan begitu, lukisan pun akan terasa lebih hidup dan nyata.
Begitupun tukang cokul. Detail-detail seperti bibir Angelina Jolie, hingga bulu-bulu halus di sekitar telinga yang agak berkeringat karena terbasuh peluh, kerap membuat tukang cokul terangsang. Begitulah persamaan-persamaan antara perancap dan seniman papar De Botton.
Selalu ada dua sisi atau dua pandangan yang berlawanan untuk hal apapun di dunia ini. Ada laki-laki dan perempuan. Ada bumi dan langit. Ada air dan api. Begitupun dalam hal merencap. Sehebat apapun larangan dengan menggunakan dalil agama, mitos, bahkan saintifik terhadapnya, kegiatan merancap buktinya masih ada dan marak dilakukan hingga saat ini.